Caraku menjaga kelestarian hutan: Meminimalkan penggunaan kertas, tisu, diaper, dan pembalut
Aku kadang heran sama diriku sendiri. Entah kenapa aku bisa sedih teramat sangat kalau harus menyia-nyiakan berlembar-lembar kertas. Bisa frustasi sama keran yang airnya masih menetes walau sudah ditutup rapat. Dan suka perhitungan banget kalau pakai tisu atau pembalut.
Dulu, zaman Ais masih bayi, aku selalu meminimalkan penggunaan diaper sekali pakai. Aku prefer pakai popok kain walau konsekuensinya harus lebih sering mencuci. Ada yang bilang aku pelit dan rempong, tapi sejatinya aku malas saja dengan sampah yang menggunung bila menggunakan diaper. Begitu juga masalah pembalut. Pasca melahirkan dan mulai menstruasi 17 bulan kemudian, aku bela-belain beli menstrual cup yang cukup mahal harganya itu. Tujuannya nggak lain adalah supaya aku gak perlu buang pembalut lagi. Jujur suka risih sama pembalut bekas. Walau sudah dibungkus rapat lengkap dengan kresek hitam, tapi tetap saja yang terbayang di kepala ini adalah pembalut yang mengambang di IPAL. Hiy, jangan sampai aku jadi pelaku pencemaran yang seperti itu.
bela-belain beli dan belajar pakai ini demi bebas pembalut. |
Baca: Go Green Mommy!
Terserah sih orang mau bilang apa, dibilang lebay juga biarin. Tapi pemborosan penggunaan diaper, pembalut, kertas, atau tisu, pastinya akan berdampak pada kelestarian hutan, betul? Karena ada pohon yang harus ditebang dan diolah untuk menghasilkan sebuah diaper, sepotong pembalut, selembar tisu, dan selembar kertas. Rasanya nggak tega aku kalau harus mengorbankan mereka demi kepraktisan hidupku...
Tapi, walaupun begitu, aku akan tetap bergantung pada produk hasil hutan kan? Terus gimana dong memastikan hasil hutan yang kupakai tidak menyebabkan kerusakan hutan?
Tenang, aku bukan satu-satunya konsumen yang concern masalah pelestarian alam. Makin banyak konsumen yang menyadari pentingnya menjaga hutan sebagai jantung bumi dan paru-paru dunia. Para ahli dan pemangku kepentingan bersinergi untuk menciptakan regulasi yang menjamin proses produksi yang selaras dengan alam agar kehidupan tetap harmonis dan terkendali. Salah satu sistem yang dikembangkan untuk mengatasi deforestri (penggundulan hutan) adalah berupa HCS Approach (High Carbon Stock Approach).
Apa sih HCS Approach?
Definisi di modul |
HCS Approach (High Cabon Stock Approach) adalah metodologi global untuk menerapkan praktek non-deforestasi. HCS Approach diselenggarakan oleh HCS Approach Steering Group yang terdiri dari industri perkebunan seperti Wilmar, Asia Pul & Paper Group (APP), Golden Agri Resources, Golden Veroleum Liberia, Musim Mas, dan New Oil Britain Palm Oil Limited. Industri komoditas seperti P&G, Unilever, dan BASF. Organisasi non pemerintah seperti WWF, Green Peace, Conservation International, Forest Peoples Programmes, Forest Heroes, Mighty, National Wildlife Federation, Rainforest Action Network, Rainforest Alliance, dan Union of Concerned Scientists. Dan yang terakhir adalah member dari kategori organisasi technical support, seperti Daemeter, Eco Nusantara, proforest dan TFT. Nah, HSC Approach Steering Group ini, pada pertemuan di Bali awal Mei lalu, meluncurkan toolkit yang bernama HCS Approach (High Cabon Stock Approach) Toolkit Versi 2.0 yang berisikan modul untuk mensosialisasikan dan menerapkan praktek non-deforestasi secara jelas, sistematis, dan sinergi dengan metode pelestarian hutan lainnya. Toolkit ini adalah seri kedua dari toolkit sebelumnya.
Cover Modul HSC Aproach Toolkit Versi 2.0 |
HCS Approach Toolkit Versi 2.0 terdiri dari dua fase dan 7 modul. Fase pertama
adalah membuat HCS Forest Map sesuai dengan keadaan aktualnya. Untuk membuat
HCS Forest Map, diperlukan empat modul pendukung. Modul pertama adalah pendahuluan
mengenai HCS Approach ini.
Modul kedua adalah mengenai persyaratan social (social
requirement), dimana tim HCS Approach menghormati penduduk setempat dan kearifan
lokalnya, menghindari konflik social dengan mereka, dan member kontribusi
positif, antara lain memberi kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan, konservasi
lahan untuk menjamin pangan mereka, dan lain sebagainya. Modul ini memang
penting dilakukan di awal, karena bila HCS Approach sudah mampu berbaur dengan penduduk
setempat, program HCS Approach kedepannya juga akan lebih mudah diimplementasikan.
Modul ketiga adalah mengintegrasikan HSC Approach dengan FPIC (Free,
Prior, informed Concern) dan penduduk setempat dengan penilaian HCV (High
Coservation Values). Terintegrasinya ketiga metode ini secara efisien akan
mengefektifkan biaya yang dikeluarkan.
HCS, HCV, dan FPIC yang terintegrasi |
Modul keempat mengklasifikasikan hutan berdasarkan
vegetasinya menggunakan satelit, data di lapangan, dan data LiDAR (Light
Detection and Ranging). Ada tujuh klasifikasi hutan berdasarkan vegetasinya,
yaitu High Density Forest (HDF), Medium Density Forest (MDF), Low Density
Forest (LDF), Young Regenerating Forest (YRF), Scrub, dan Open Land. Untuk
scrub dan open land, sudah tidak termasuk High Carbon Stock Forest (HCS Forest)
lagi.
Klasifikasi hutan menurut stok karbonnya |
Output dari fase pertama adalah mendapatkan HCS Forest Area
terkini dengan keterangan ukuran dan hubungan antar HCS Forest.
Peta Hutan Kalimantan sesuai klasifikasinya. |
Fase selanjutnya adalah menganalisa HCS Forest Patch,
merekomendasikan konservasi yang terintegrasi dan peta penggunaan lahan. Fase ini
memerlukan tiga modul antara lain mengenai analisa HCS Forest Patch,
mengembangkan isu untuk menarik partisipasi smallholder dan komunitas mengenai
High Forest Cover Landscapes and Carbon, dan mengenai kontrol kualitas (quality assurance) HSC approach yang transparan dan termonitor dengan baik.
Dalam pelaksanaan HCS Approach ini diperlukan penentuan prioritas dalam pengelolaan HCS Forest Patch. Ada titik hutan tertentu yang lebih diprioritaskan dibandingkan hutan lainnya. Penentuan ini berdasarkan
HCS Forest Patch Analysis Decision Tree, yaitu:
1. Mengklasifikasikan hutan berdasarkan vegetasinya, apakah
termasuk High Density Forest (HDF), Medium Density Forest (MDF), Low Density
Forest (LDF) atau masih Young Regenerating Forest (YRF).
2. Menentukan prioritas pengelolaan HCS Forest Patch
berdasarkan luas areanya. Untuk hutan dengan luas area diatas 100 hektar akan
langsung masuk prioritas tinggi. Sedangkan hutan dengan luas area di bawah 100,
masih akan dilakukan pertimbangan lebih lanjut. Apabila lokasi hutan terkoneksi dengan hutan yang
menjadi prioritas, maka HCS Forest Patch ini akan masuk prioritas juga.
3. Analisa resiko. HCS forest dengan resiko minimal akan
menjadi prioritas.
4. High Density Forest (HDF), Medium Density Forest (MDF),
Low Density Forest (LDF) lebih diprioritaskan dibandingkan Young Regenerating
Forest (YRF).
5. Rapid biodiversity assessment. Semakin HCS Forest tersebut
berpengaruh pada biodiversity, artinya memiliki keanekaragaman hayati yang
banyak, maka HCS forest tersebut akan diprioritaskan.
Ternyata, menjaga kelestarian hutan itu butuh usaha yang cukup rumit juga ya? Tetapi setidaknya hasil hutan adalah sumber daya yang dapat diperbaharui, sehingga selama manusia mampu menggunakan hasil hutan dengan bijak dan memikirkan kelestariannya, maka hutan akan berfungsi sebagai jantung bumi dan paru-paru dunia yang dibutuhkan seluruh manusia di muka bumi ini.
Mengurangi penggunaan produk hutan tentu saja tidak cukup untuk mempertahankan kelestarian hutan. Perlu ada upaya menjaga kelestarian hutan agar tidak gundul dan tetap menjadi tempat tinggal bagi keanekaragam hayati di muka bumi. Semoga sukses HCS Approach dalam upaya 'nol deforestasi'.
Sumber:
http://highcarbonstock.org/the-hcs-approach-toolkit/
Twitter: @Highcarbonstock
Youtube: High Carbon StockApproach
Outline Toolkit secara singkat. |
Ternyata, menjaga kelestarian hutan itu butuh usaha yang cukup rumit juga ya? Tetapi setidaknya hasil hutan adalah sumber daya yang dapat diperbaharui, sehingga selama manusia mampu menggunakan hasil hutan dengan bijak dan memikirkan kelestariannya, maka hutan akan berfungsi sebagai jantung bumi dan paru-paru dunia yang dibutuhkan seluruh manusia di muka bumi ini.
Mengurangi penggunaan produk hutan tentu saja tidak cukup untuk mempertahankan kelestarian hutan. Perlu ada upaya menjaga kelestarian hutan agar tidak gundul dan tetap menjadi tempat tinggal bagi keanekaragam hayati di muka bumi. Semoga sukses HCS Approach dalam upaya 'nol deforestasi'.
Sumber:
http://highcarbonstock.org/the-hcs-approach-toolkit/
Twitter: @Highcarbonstock
Youtube: High Carbon StockApproach
Artikel yang hebat, Ardiba (y)
BalasHapusPemaparan yang dalam, Diba. Jadi bahan renungan buat saya pribadi yang masih belum bisa lepas dari produk2 yang disebutkan :(
BalasHapusTulisan yg agak berat tapi intinya tersampikan dgn baik.
BalasHapusAkupun msh tergantung sm produk2 tersebut
Terima kasih sudah berbagi dan share ilmunya ya mba...Memang tidak mudah untuk merubah kebiasaan tapi kita harus bisa yaaa
BalasHapusKerusakan hutan makin parah, semoga dg kehadiran teknologi ini bisa mencegah kerusakan hutan
BalasHapusHutan sebagai Paru Paru Dunia harus dijaga dan dilestarikan,.
BalasHapusThanks Artikelnya sangat bermanfaat
Kebanyakan hutan dirusak dengan cara dibakar biar bisa dijadikan lahan sawit huhu u,u
BalasHapusaku ga pernah pakai itu mbak, mentrual cup ya gimana tuh rasanya xixi. Btw setuju banget nih sama program nya HCS approach semoga jadi salah satu jalan untuk tetap melindungi dan melestarikan hutan Indonesia yang mulai kehilangan fungsi aslinya ya
BalasHapusTrims untuk artikel yang sangat berbobot ini. Ada banyak cara untuk bisa lebih ramah dan cinta terhadap lingkungan. Sebagai konsumen, aku juga serupa denganmu, Dib. Mulai mengurangi penggunaan pembalut sekali pakai, berusaha untuk hemat air..terpikir juga mencoba menstrual cup, cuma karena belum menikah..agak khawatir juga hehehe.
BalasHapus