Suatu sore di Museum Benteng Vrederburg |
Seri terakhir dari Ramadhan di Museum ini seru banget, soalnya berlokasi di Museum Benteng Vrederburg. Kalau sore-sore begini biasanya banyak yang datang buat selfie nih, soalnya pemandangan sore hari di Museum Benteng Vrederburg memang bagus.
Acara Ramadhan di Museum sore ini adalah sarasehan bersama karena pas kami datang acara Ramadhan di museumnya belum mulai, makanya aku dan Ais jalan-jalan keliling museum dulu. Seperti biasa, incaran utamanya adalah 'alat perang' seperti meriam ini.
Setelah puas bermain meriam, Ais kemudian beringsut menuju sebuah patung prajurit TNI.
"Bu, Ais mau foto sama tentara!" Katanya.
"Oke, tapi Ais harus pose tegap ya!" Ujarku.
Ais menurut, dan jadi deh posenya kayak gini. Susah banget bisa berdiri tegap dan anteng begini.
Petualangan kembali dilanjutkan. Kami berkeliling di sekitar lokasi museum. Ais tertarik untuk berfoto di gardu kecil ini.
Sebelum acara dimulai, kami sempat mampir ke sebuah kafe di museum ini, Indische Koffie yang terletak di sayap kanan museum. Saking penasaran untuk berkeliling, Ais dan aku sampai diperingatkan sama pelayang kafe supaya nggak naik tangga di kawasan kafe. Ehem, kayaknya memang juga agak lapuk deh tangganya. Akhirnya kita naik ke atas lewat jalanan miring, dan di atas sini ternyata bisa lihat gedung Bank Indonesia dengan jelas.
Sekitar pukul 5 sore, acara sarasehan bersama saksi sejarah Agresi Militer Belanda 2 dimulai. Acara sore ini tidak hanya dikomandoi Komunitas Night at The Museum, tetapi juga dibantu oleh Komunitas Jogja 1945. Kalau komunitas Night at The Museum cenderung tidak ada dress code di setiap acaranya (paling kaos yang sama), nah kalau Komunitas Jogja 1945 ini lebih mencolok karena berpakaian ala pejuang kemerdekaan. Ini nih contoh outfit Mas Eko Penyo, ketua dari Komunitas Jogja 1945.
Bu Juwariyah ini adalah anggota batalyon 1 dengan kepala seksi saat itu adalah Bapak Komarudin. Usia beliau saat ini sudah 83 tahun dan saat menjadi pejuang Agresi Militer Belanda II itu beliau masih berumur sangat belia, yaitu 15 tahun. Suami Bu Juwariyah adalah Bapak Suhardi yang merupakan anggota kepolisian. Kesibukan saat ini adalah rutin berolahraga tenis.
Awal muasal Bu Juwariyah bisa bergabung bersama para tentara adalah ketika Belanda datang lagi di 19 Desember 1948. Bu Juwariyah bersama keluarga mengungsi ke Selarong. Di saat mengungsi tersebut, Bu Juwariyah kerap dimintai tolong oleh ibunya untuk mengambil barang-barang sekaligus berbelanja bahan kebutuhan di kota. Akhirnya, bersama teman-temannya Bu Juwariyah mendirikan PKK (semacam palang merah) di Panggung Krapyak. Tujuan Bu Juwariyah saat itu adalah untuk menolong orang-orang pengungsi yang sakit. Lalu suatu hari, Bu Juwariyah dan teman-temannya didatangi Pak Komarudin dan pasukannya, dan diberi tahu bahwa bahaya buat posko begitu. Akhirnya Bu Juwariyah dan teman-temannya direkrut jadi anggota Pak Komar. Saat itu pekerjaan Bu Juwariyah adalah menjadi kurir. Setiap kali diberi tugas mengantarkan surat atau pun barang, Bu Juwariyah selalu berhasil.
Ada pengalaman tak terlupakan yang dialami Bu Juwariyah. Saat itu Bu Juwariyah ditawari tumpangan oleh Belanda. Memang saat itu sudah pukul 6 sore. Penduduk sudah tidak diperkenankan berkeliaran. Belanda yang menawarkan tebengan lewat kenilnya ini sebenarnya baik, tetapi tetap saja Bu Juwariyah deg-degan. Soalnya Bu Juwariah saat itu membawa propeler. Untungnya nggak ketahuan karena di atas propeler itu Bu Juwariyah membawa buah-buahan. Gara-gara kejadian itu, Bu Juwariyah bertekad tidak akan melewati jalanan umum lagi. Lebih baik dia berjalan melewati kuburan Krapyak, daripada ditebengi Belanda lagi, hihi.
Di usianya yang semakin senja, Bu Juwariyah tetap bugar dan cantik. Rahasia sehat ala Bu Juwariyah adalah rutin tenis dan sebisa mungkin melakukan apa pun tanpa bantuan orang lain (meladeni diri sendiri).
Selain Bu Juwariyah, saksi sejarah lain yang dihadirkan adalah Bapak Sujono. Anak dari pejuang Mayor Sardjono Komandan SWK 02 Bantul. Beliau saat ini adalah Ketua Paguyuban Werkres/kantung gerilya/PWK D.I Yogyakarta. Yang diceritakan Pak Sujono kurang lebih sama dengen Bu Juwariyah. Pak Sujono membenarkan cerita Bu Juwariyah yang mengatakan bahwa bapaknya dulu adalah orang yang keras dan mudah melontarkan kata-kata kasar. Kayaknya sih berbanding terbalik dengan anaknya ya? Hehe
Waktu menunjukkan pukul 05.34 sore. Waktunya berbuka untuk wilayah DI Yogyakarta dan sekitarnya. Selain es buah sebagai makanan takjil 'wajib', kami juga disuguhi wedang sereh. Ini minuman khas yang rutin disajikan saat zaman perjuangan dulu. Jadi buat Bu Juwariyah, ini adalah minuman nostalgia. Dan bagi kita generasi penerus, minuman ini menjadi simbol perjuangan nenek moyang yang tetap harus dikenang.
Udah ditulis 'Dilarang Naik' si doi tetap naik. Ais kan belum bisa baca. Hadeh. |
"Bu, Ais mau foto sama tentara!" Katanya.
"Oke, tapi Ais harus pose tegap ya!" Ujarku.
Ais menurut, dan jadi deh posenya kayak gini. Susah banget bisa berdiri tegap dan anteng begini.
Siap grak! |
Mana ada tentara posenya kayak begini. |
Klasiknya bangunan Bank Indonesia. |
Sekitar pukul 5 sore, acara sarasehan bersama saksi sejarah Agresi Militer Belanda 2 dimulai. Acara sore ini tidak hanya dikomandoi Komunitas Night at The Museum, tetapi juga dibantu oleh Komunitas Jogja 1945. Kalau komunitas Night at The Museum cenderung tidak ada dress code di setiap acaranya (paling kaos yang sama), nah kalau Komunitas Jogja 1945 ini lebih mencolok karena berpakaian ala pejuang kemerdekaan. Ini nih contoh outfit Mas Eko Penyo, ketua dari Komunitas Jogja 1945.
Di kesempatan acara ini, Mas Eko Penyo bercerita bahwa Komunitas Jogja 1945 adalah komunitas yang fokus pada sejarah perjuangan dari kurun waktu 1945-1950, terutama pada peristiwa penting, perjuangan kemerdekaan NKRI, Agresi Militer Belanda I, dan Agresi Militer Belanda II. Sejarah setelah 1950 tidak dipelajari karena menurut Mas Penyo, sudah banyak muatan politis pada sejarah di atas tahun 1950.
Oh ya, kembali ke acara sarasehan bersama saksi sejarah Agresi Militer Belanda II, nara sumber yang dihadirkan ada dua orang. Yaitu Ibu Juwariyah dan Bapak Sujono.
Sarasehan bersama saksi sejarah Agresi Militer Belanda II |
Awal muasal Bu Juwariyah bisa bergabung bersama para tentara adalah ketika Belanda datang lagi di 19 Desember 1948. Bu Juwariyah bersama keluarga mengungsi ke Selarong. Di saat mengungsi tersebut, Bu Juwariyah kerap dimintai tolong oleh ibunya untuk mengambil barang-barang sekaligus berbelanja bahan kebutuhan di kota. Akhirnya, bersama teman-temannya Bu Juwariyah mendirikan PKK (semacam palang merah) di Panggung Krapyak. Tujuan Bu Juwariyah saat itu adalah untuk menolong orang-orang pengungsi yang sakit. Lalu suatu hari, Bu Juwariyah dan teman-temannya didatangi Pak Komarudin dan pasukannya, dan diberi tahu bahwa bahaya buat posko begitu. Akhirnya Bu Juwariyah dan teman-temannya direkrut jadi anggota Pak Komar. Saat itu pekerjaan Bu Juwariyah adalah menjadi kurir. Setiap kali diberi tugas mengantarkan surat atau pun barang, Bu Juwariyah selalu berhasil.
Ada pengalaman tak terlupakan yang dialami Bu Juwariyah. Saat itu Bu Juwariyah ditawari tumpangan oleh Belanda. Memang saat itu sudah pukul 6 sore. Penduduk sudah tidak diperkenankan berkeliaran. Belanda yang menawarkan tebengan lewat kenilnya ini sebenarnya baik, tetapi tetap saja Bu Juwariyah deg-degan. Soalnya Bu Juwariah saat itu membawa propeler. Untungnya nggak ketahuan karena di atas propeler itu Bu Juwariyah membawa buah-buahan. Gara-gara kejadian itu, Bu Juwariyah bertekad tidak akan melewati jalanan umum lagi. Lebih baik dia berjalan melewati kuburan Krapyak, daripada ditebengi Belanda lagi, hihi.
Di usianya yang semakin senja, Bu Juwariyah tetap bugar dan cantik. Rahasia sehat ala Bu Juwariyah adalah rutin tenis dan sebisa mungkin melakukan apa pun tanpa bantuan orang lain (meladeni diri sendiri).
Selain Bu Juwariyah, saksi sejarah lain yang dihadirkan adalah Bapak Sujono. Anak dari pejuang Mayor Sardjono Komandan SWK 02 Bantul. Beliau saat ini adalah Ketua Paguyuban Werkres/kantung gerilya/PWK D.I Yogyakarta. Yang diceritakan Pak Sujono kurang lebih sama dengen Bu Juwariyah. Pak Sujono membenarkan cerita Bu Juwariyah yang mengatakan bahwa bapaknya dulu adalah orang yang keras dan mudah melontarkan kata-kata kasar. Kayaknya sih berbanding terbalik dengan anaknya ya? Hehe
Waktu menunjukkan pukul 05.34 sore. Waktunya berbuka untuk wilayah DI Yogyakarta dan sekitarnya. Selain es buah sebagai makanan takjil 'wajib', kami juga disuguhi wedang sereh. Ini minuman khas yang rutin disajikan saat zaman perjuangan dulu. Jadi buat Bu Juwariyah, ini adalah minuman nostalgia. Dan bagi kita generasi penerus, minuman ini menjadi simbol perjuangan nenek moyang yang tetap harus dikenang.
Setelah solat magrib, kami masih torur keliling museum. Wih, Museum Benteng Vrederburg di sore hari kabarnya rada-rada spooky, mari kita buktikan di postingan ardiba.com selanjutnya.
Aku belum pernah masuk ke dalamnya nih
BalasHapusKeren nih acaranya, saksi sejarah juga hadir. Salut buat mereka ya mbak:)
BalasHapusbentengnya klasik dan oke buat potohpotoh :D
BalasHapusMembaca liputan ini seperti membaca buku sejarah, sejak SD paling suka dengan mapel ini. Apalagi pengalaman nyata para saksi sejarah.
BalasHapusApik tenan, Dib, liputannya, dan kelak akan terekam sempurna di memori Ais.
Publikasi acaranya tertutup po mbak? Pengumuman yang aku lihat di Twitter/IG cuma yg di museum Sonobudoyo thok?
BalasHapus