Dunia hiburan saat ini telah berevolusi (cieh istilahnya).
Kalau dulu yang namanya mau menonton TV harus kumpul ke rumah Pak RT dulu,
sekarang TV malah teronggok saja di
rumah, jarang dinyalakan. Sarana hiburan audiovisual sudah semakin bervariasi mulai dari
video streaming, DVD film, atau pun film donlotan dari internet. Aku sendiri
sebagai ibu dari satu anak merasa lebih aman mencari hiburan via internet
seperti streaming di youtube, layarkaca21.tv, genflix, dsb. Dengan streaming,
aku bisa memilih tontonan apa yang bisa ditonton anak. Berbeda dengan televisi
yang kudu harus manut stasiun TV menayangkan acara apa. Nah, streaming video di
internet memudahkanku untuk melakukan budaya sensor mandiri. Tentang istilah budaya sensor mandiri sendiri aku ketahui saat acara RoadBlog 10 Cities yang diadakan Excite Indo di Yogyakarta 16 April silam. Kang Atun, selaku perwakilan dari Lembaga Sensor Film memaparkan tentang budaya sensor yang seharusnya dilakukan secara mandiri karena sudah terlalu sulit bila diatur semua oleh Lembaga Sensor Film.
Oh ya, kembali ke masalah streaming video, dengan
streaming video aku bisa selektif memilih tayangan yang boleh dan tidak boleh
ditonton anak. Biasanya aku pasti mendampingi anak saat nonton video di
internet. Bahkan, untuk film yang akan ditonton, aku selalu mencari referensi
terlebih dahlu tentang film tersebut. Tak jarang aku menonton terlebih dahulu
film yang akan ditonton.
Walaupun antisipasi sudah kulakukan sedemikian rupa,akan
tetapi tetap ada hal-hal yang sebenarnya belum layak ditonton anak, tetapi kecolongan
ditonton anak, padahal tayangan yang dipilihkan sudah sesuai umurnya (kategori
film semua umur), Hal-hal tersebut antara lain:
1. Adanya tokoh
antagonis yang bahasanya tidak sopan, suka mengumpat, memukul, semena-mena,
pokoknya nggak ada bagus-bagusnya deh tokoh ini. Nah, agar anak tidak meniru si
tokoh ini, aku selalu kasih pengertian bahwa tindakan seperti itu tidak baik
dan jangan ditiru.
2. Adanya adegan di luar nalar seperti kereta api yang bisa
terbang, tokoh superhero yang bisa terbang tanpa alat atau pun menembus
dinding, atau pun tayangan fantasi dimana tokoh utamanya selalu mendapatkan
pertolongan dari alat ajaib. Tayangan seperti ini biasanya dikategorikan untuk
semua umur, tetapi sebagai orang tua, aku harus memberi pengertian pada anak
bahwa itu hanya di film dan tidak ada di dunia nyata. Walau bagaimana pun takut
juga kalau tiba-tiba anak berfantasi bisa terbang terus loncat dari atas pohon,
ya kan?
3. Adegan ciuman di film. Duh, film kartun hollywood suka
sekali menyelipkan adegan ini. Sebel deh! Makanya sekarang biar aman, aku
selalu pastikan film yang ditonton anak bebas tema percintaan lawan jenis, dan
cenderung aku arahkan untuk menonton film dokumenter atau pun tutorial, biar
pengetahuannya juga bertambah.
Inilah 3 (tiga) tahapan budaya sensor mandiri yang biasanya aku lakukan:
1. Menemani anak menonton. Setiap anak pasti senang kalau
diperhatikan oleh kedua orang tuanya. Acara menonton bisa menjadi sarana meningkatkan
bonding dengan anak sekaligus mengawasi tayangan yang ditonton anak.
2. Edukasi. Bila terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan
nalar atau pun yang sebaiknya tidak dilakukan anak, aku segera melakukan
edukasi. Tetapi edukasinya bukan dengan ceramah sok tahu begitu. Edukasi aku
lakukan dengan format diskusi, sehingga anak menjadi paham bahwa tidak semua
tayangan di televisi bisa ditiru.
3. Membatasi jam
menonton. Selain untuk menjaga kesehatan mata anak agar jangan terlalu lama
terpapar layar LCD, juga agar anak menyadari bahwa banyak hal lebih manarik
dibandingkan sekotak layar kaca dengan gambar begerak dan berwarna ini.
Kenapa Budaya Sensor Mandiri?
Dewasa ini, gempuran tayangan berbasis video tidak hanya
didominasi oleh televisi atau pun bioskop. Media internet dengan kemudahan
mengupload, menonton, dan mengunduh video membuat semakin gencarnya peredaran
video di masyarakat. Lembaga Sensor Film sebagai lembaga yang berwenang
melakukan sensor tentu saja akan kewalahan menghadapi gempuran video yang
begitu gencarnya. Apalagi banyak diantara video tersebut memang tidak
didaftarkan di Komisi Penyiaran Indonesia, jadi budaya sensor mandiri harus
dilakukan setiap individu.
Perbedaan persepsi tentang
sensor juga menjadi kendala dalam melakukan sensor di Lembaga Sensor Film.
Sehingga akan lebih baik jika kita sebagai konsumen yang melakukan sensor
mandiri terhadap tayangan yang akan
ditonton.
Baik2 ya jagain Ais. Bentar lagi Ais bisa utak atik youtube sendiri.
BalasHapussensor mandiri sekarang mempunyai arti yang makin luas. apa yang harus kita perhatikan dalam sensor bukan lagi film semata. mungkin juga konten digital, internet dan seterusnya. makin rumit
BalasHapusBetul Mba Diba, bahkan sepertinya film-film anak hampir semuanya menyajikan adegan kissing. Perlu penjagaan banget ya. Apalagi kadang di game2 gawai sering diselipkan video2 yg suka gak ketawan.
BalasHapusAnak memang harus ditemani dan diberi pengertian, soalnya gampang banget meniru...
BalasHapusBudaya sensor mandiri kalau dulu tutup mata, kl sekarang apa ya?
BalasHapusJauhin anak dari TV dan gadget atau kalau lg nonton diawasin, kali ya? :)
BalasHapus@Maklus: sekarang juga udah bisa. Cuma belum bisa ngetik keyword. Bentar lagi..huhuhu
BalasHapus@Mas Jar n Mb Ipeh: Bener banget. Sekarang game2 juga ampun deh!
@Mb Witri: iya. Menyerap seperti spons jd cepat meniru
@Manda: masih pake tutup mata sih kalo aku. Hihi
@Mb April: nonton TV udah jarang, tp gadget sm streamingnya getol. Kdg kasian sama matanya, tp ibunya aja susah lepas dr gadget. Help!
duh mugo2 anakku g ndelok seng aneh2
BalasHapusbtw selamattt :*