“Kita jangan menjadi bangsa yang bermental tempe!”
Begitu
gaung pidato Presiden Soekarno saat zaman kemerdekaan dulu. Sebuah statment yang membuat tempe menjadi
dipandang sebelah mata, bahkan sampai hari ini. Padahal tempe adalah makanan
bergizi dan satu-satunya olahan nabati dengan kandungan vitamin B 12 (biasanya
terdapat pada olahan hewani), asam amino pun lumayan lengkap, plus kecernaan
proteinnya yang lebih baik dibanding olahan biji-bijian lain, seperti tahu,
karena tempe mengalami fermentasi, sehingga sehingga sebagian proteinnya sudah
terpecah dan lebih mudah diserap tubuh.
Tempe adalah warisan budaya asli Indonesia. Literatur yang
menjadi landasan para ilmuan untuk meneliti sejarah tempe adalah lewat lewat
literatur klasik Jawa, Serat Centhini. Serat Centhini adalah bagian dari Kitab Jatiswara
yang ditulis sekitar 1711, terdiri dari 12 volume dimana masing-masing volume
terdiri dari 350 halaman. Serat Centhini
berisikan ilmu pengetahuan dan kebudayaan Jawa, pada volume III disebutkan bahwa Pangeran
Bayat menjamu Ki Amongthrusta dengan makanan yang terdiri dari brambang(bawang
merah), jahe, dan sayur tempe semangit (sabel lethok atau sambal tumpang).
Walau belum dipastikan kebenaran manuskrip itu, karena manuskrip aslinya belum
terlacak, namun setidaknya membuktikan bahwa sekitar 1711 keberadaan tempe
telah ditemukan di Indonesia.
Saat ini tempe sedang diusahakan untuk menjadi warisan
budaya asli Indonesia, seperti halnya batik. Peer sebenarnya justru pada stigma
masyarakat bahwa tempe adalah makanan murahan, tidak bergengsi. Oleh kerena
itu, Universitas Atmajaya bekerja sama denganMBrio, Indofood, Food Review Indonesia, AIPI, Majalah Pesona, Ajinomoto, Kementrian
Perdagangan Indonesia, BSN, BPOM, dan Nutrifood menyelenggarakan sebuah
konfensi internasional bertajuk:
“Appreciating
Biodiversity of Traditional Fermented Foods Through Biotechnology”
Konferensi ini terdiri dari satu hari fieldtrip dan dua hari
seminar. Acara dimulai pada hari Minggu, 15 Februari 2015 sampai dengan Selasa, 17
Februari 2015. Konfrensi yang juga diikuti beberapa negara seperti Korea,
Prancis, dan Thailand. Fieldtrip hari pertama sekaligus berfungsi untuk
mempromosikan kebudayaan asli Indonesia, yaitu batik dan tempe. Destinasi
pertama yaitu sentra pembuatan batik tulis di Giriloyo, Bantul, Yogyakarta. Di
Giriloyo seluruh peserta diajarkan cara membatik. Satu mentor mengajari lima
orang peserta. Membatik dengan canting adalah hal baru buat banyak orang. Tak
heran hasil batiknya masih banyak yang kacau, walau ada pula yang bisa langsung
bagus kreasinya. Step-step pembuatan batik agar bisa digunakan ternyata cukup
panjang, harus dicuci, diwarnai berkali-kali, direbus, dijemur, baru deh bisa
dipakai.
Setelah puas membatik, rombongan kemudian menuju Bumi
Langit, untuk belajar membuat tempe. Bumi Langit terletak di Jl Mangunan km 3,
dengan jalanan yang terjal dan berkelok. Di Bumi Langit, rombongan diberi
jamuan roti sorgum dan berbagai macam tempe.
Tempe dari bermacam-macam polong-polongan. Yummy n healthy! |
Sayur-bermacam tempe-pepes pati-nasi tiwul, hasil bumi sendiri |
Setelah makan siang dengan olahan
hasil kebun Bumi Langit, acara kemudian dilanjutkan dengan pembuatan tempe dan
berkeliling lokasi Bumi Langit. Ada bermacam-macam tanaman dan hewan yang
tersebar di lokasi seluas tiga hektar ini (kita nggak jalan sejauh itu kok).
Bumi Langit berpegang teguh pada kearifan lokal, segala limbah yang dihasilkan
diolah menjadi kompos atau pun biogas. Untuk limbah airnya, Bumi Langit juga
menerapkan kolam treatment untuk memastikan air yang dialirkan kembali ke alam
tidak mencemari lingkungan.
Pembuatan tempe kali ini menggunakan kedelai hitam. Tempe
dari kedelai hitam lebih gurih daripada tempe kedelai kuning. Tahapan pembuatan
tempe kedelai hitam, pertama adalah sortasi kedelai, untuk memisahkan biji
kedelai yang baik dari biji kedelai yang rusak ataupun pengotor-pengotor
seperti batu. Kedua, kedelai hitam dicuci bersih dan direndam di air selama
6-10 jam. Selanjutnya kedelai hitam direbus selama 15 menit, ditiriskan, dan
diangin-anginkan. Tahap berikutnya adalah memisahkan kedelai hitam dari
kulitnya. Proses ini yang kadang bikin ‘ilfil’, karena proses ini biasa
dilakukan dengan menginjak-injak kedelai. Yes, diinjak pakai kaki! Tapi tenang,
kakinya bersih kok, hehe. Setelah kulit
dipisahkan dari biji kedelai, biji kedelai kemudian direndam kembali 6-10 jam
dan direbus selama 60 menit. Setelah perebusan, biji kedelai ditiriskan dan
diangin-anginkan kembali. Bila kedelai sudah tidak terlalu panas, barulah
inokulasi dilakukan. Jangan ngebayangin inokulasi seperti di lab, karena
pembuatan tempe ini dengan cara tradisional. Jadi, inokulum/ ragi tempenya dari
daun waru atau jati yang berbulu dan berpenampakan seperti ini.
Cara inokulasinya bisa dilihat di video berikut ini:
Seru kan fieldtripnya? Jadi lebih bersemangat buat konfrensi
besok!
Hari kedua konferensi dibuka oleh Prof F.G. Winarno selaku General Chairman.Beliau menjelaskan
pentingnya berkolaborasi dengan dunia internasional untuk pengembangan tempe
ini. Prof Antonius Suwanto mendapat kesempatan berikutnya untuk membahas
tentang apa yang terjadi dalam fermentasi tempe. Beliau membahas mengenai metagenomic
dan nutrigenomic pada tempe. Speaker ketiga adalah Prof Mary Astuti. Beliau
didapuk untukbercerita mengenai sejarah tempe. Menyadarkan kita bahwa tempe
adalah benar warisan budaya Jawa.
Setelah ketiga speaker memaparkan materinya, acara
dilanjutkan dengan sesi tanya jawab dan coffee
break. Berhubung diriku mengambil Youth
Conference, maka sesi kedua berpisah dengan peserta General Conference. Oh ya, konferensi ini dibagi menjadi dua
kelompok, youth dan general conference. Youth Conference
adalah konferensi yang goalnya nanti adalah peserta akan mempresentasikan
ide-ide untuk pengembangan tempe di Indonesia. Idenya bisa apa saja, bisa dari
segi teknologi, sosial, budaya, maupun dari segi ekonomis. Ide-ide ini kemudian
akan dievaluasi oleh para expert seperti Prof F.G. Winarno, Prof Hanny Wijaya,
dan praktisi industri tempe Pak Rustono. Seru nih buat ibu-ibu berjiwa
sepertiku (uhuk). Nah, kalau General
Conference itu memang konferensi buat para expert seperti dosen dan
peneliti. Tahun depan mudah-mudahan dah masuk rombongan ‘General Conference’ deh. Aamiin.
Sesi Youth Conference
kali ini adalah sharing dari praktisi
industri tempe di Kyoto, Jepang . Dialah Bapak Rustono. Pemilik brand Rusto’s
Tempe ini bercerita bagaimana bisa memulai industri tempe di Jepang. Dari
awalnya tidak bisa membuat tempe, sampai saat ini malah mengajarkan pembuatan
tempe pada banyak koleganya di seluruh dunia. Pak Rustono adalah sosok pekerja keras yang sangat dekat dengan
keluarganya. Dalam mengembangkan idustrinya, beliau dibantu istri dan kedua
anaknya. Wah, family daddy deh pokoknya. Video sharingnya ada di sini.
Setelah selesai sesi sharing dari Pak Rustono, waktu menunjukkan pukul 13.00, yang artinya waktu makan siang. Makan siangnya full tempe dan tahu. Walau ada rendang dan ayam juga sih. Setelah makan siang, acara dilanjutkan dengan workshop dari Prof F.G Winarno dan Dr. Bayu Krisnamurthi tentang kreativitas. Selesai workshop ini, peserta Youth Conference dibagi menjadi enam kelompok dan berdiskusi tentang ide pengembangan tempe. Daku mendapat kelompok bersama calon doktor yang saat ini tengah menyelesaikan S2-S3 Fast Track di IPB, Mbak Dita, adek tingkatku S1 yang keren karena kiprahnya di Slow Food Foundation, Alim, mahasiswa S1 yang punya minat besar sama penelitian tempe, Kevin, dan anak SMU de Britto yang kreatif dan cemerlang abis, Gilbert. Kita berenam dipandu sama Andy untuk berdiskusi tentang pengembangan tempe. Diskusi berlangsung panjang dan lama, karena semua pada bingung mau mengembangkan apa. Ujung-ujungnya kita pakai idenya Gilbert untuk mengembangkan Praline Chocolate Tempe.
Hari ketiga konferensi diawali dengan pemeparan materi oleh
Prof Maggy soehartono yang menjelaskan mengenai komponen bioaktif dan peptida
pada protein, dilanjutkan dengan Aspek ekonomi tempe Indonesia oleh Dr. Bayu Krisnamurthi.
Tentang tempe semangit oleh Prof Hanny Wijaya, dan strategi global saus Korea
dan Kecap Kikkoman oleh DongSoon Suh, PhD. Selepas sesi pertama dan coffee break, Peserta Youth Conference kembali mengadakan
diskusi. Puncaknya, adalah presentasi semua ide pengembangan tempe di hadapan
para expert dalam Bahasa Inggris. Tim
kami, karena semua pemalu kecuali Gilbert, jadi presentasi sepenuhnya dilakukan
Gilbert. Aduh maafkan kakak-kakakmu ini ya Dek Gilbert, hiks.
Mantap sekali presentasi Gilbert! |
So, this is the end of the conference. Acara ditutup dengan
Coffee Break yang nggak laku, karena pesertanya sudah pulang semua. Jadilah
diriku, berdua dengan teman kuliahku yang saat ini sudah menjadi dosen, Dwi
Larasatie, puas menyantap coffee break ini.
Say... Tempeeeee!!!
#KitaBangsaTempe
Baca keseruan lain seputar Food Technology. Plis klik: I'm proud to be food technologist!
Baca keseruan lain seputar Food Technology. Plis klik: I'm proud to be food technologist!
acaranya menarik mak... beda dengan konferensi yg biasa sy tau.
BalasHapussbg anak kosaan, selain mie, tempe juga sangat menolong disaat perut perlu diisi. hehe
Infonyaaaaa lengkaaaaapp mb dibaaaaaaaa... TFS yaaaaa *_*
BalasHapusWah, ada konferensinya juga yaaaa. Bener banget tuh, Mak, sdh saatnya kita mengubah stigma 'mental tempe'adalah mental tak berharga, menjadi mental yg kuat, liat dan penuh nutrisi.
BalasHapusHiduo tempe. Itu mah makanan favoritku, lho!
Thamks for share, Mak. Reportasenya apik and komplit!
Hadeuh, kok malah typo. *Hiduo -> hidup *
Hapus*Thamks -> Thanks*
Hebat, jadi bangga punya mental tempe....karena tempe ternyata keren haha...
BalasHapussalam...
Aku suka tempe :))
BalasHapusGa pernah bosen dengan TEMPE ;) Go internasional !!!
BalasHapusSaia suka tempe penyet banget, maknyuuss gak ada duanya lah :D
BalasHapusToss sama emak-emak semua!!
BalasHapusSuka bete kalo ke rumah makan yang nggak ada menu tempenya...
Toss sama emak-emak semua!!
BalasHapusSuka bete kalo ke rumah makan yang nggak ada menu tempenya...
seru banget yaaa jadi makin cinta tempe...
BalasHapusSebenarnya stigma tempe yang ke arah "kiri ~ negatif" kita sendiri yang membuatnya. Padahal kalau di lihat dari nilai filosofi tempe, mulai proses pembuatannya hingga jadi produk tempe yang gizinya luar biasa, artinya tempa itu kan luar biasa, istimewa dan suatu bukti proses demi proses menuju sebuah hasil yg prima
BalasHapus#ngomong filosofi pdhl gak paham ilmu filosofi.
Buat novel filosofi tempe mak..hehe
BalasHapusWaw, tempe diangkat jd konferensi sebegini global. keren bangeeeet.
BalasHapusjenis jenis tempe jangan lupa di blogkan ya maaak. aku menanti :D
Oke mak..kalo selo tak ceritain satu2 lengkap sama cara buatnya..tapi nanti..hahaha..
BalasHapus