Ketika menonton televisi, aku paling menghindari menonton sinetron. Apalagi sinetron yang ada tokoh orang lemah(setiap sinetron ada lah yaw, biar dramatis). Aku paling ga sabaran kalau lihat si tokoh lemah diperlakukan buruk.
Berhubung acara TV bisa memilih, atau bila tidak suka bisa juga tidak nonton TV. Maka aku memilih untuk tidak mengikuti sinetron apapun. Termasuk Catatan Hati Seorang Istri yang konon ceritanya dari buku Asma Nadia yang best seller itu. Tetap aja aku malas nonton. Menurutku sinetron itu pasti lebay, dramatis, ga reaslistis.
Namun, yang terjadi padaku sore ini adalah potongan sinetron kehidupan. Sinetron yang tak mengenal jam tayang, dan tidak bisa seenaknya kita ganti saluran acaranya. Ini kisah tentang seorang anak TK yang sedari awal perkenalan menarik perhatianku.
Gio(bukan nama sebenarnya) diantar ayahnya TPA sore itu. Aku menduga Gio sudah sekolah SD. Badannya cukup tinggi bila dibanding sepupuku yang 1 SD. Tapi kondisi sosial Gio membuatku bertanya-tanya. Mungkinkah anak seperti ini bisa bersekolah normal?
Ayahnya menitipkan Gio padaku. Dipikirnya aku guru TPA. Padahal aku hanya mengantar anakku yang masih dua tahun untuk latihan TPA. Amanah ayah Gio membuatku semakin memperhatikannya.
Gio memiliki fisik lumayan. Tidak menunjukkan tanda down syndrome. Tapi ngomongnya meracau. Khayalannya berlebihan. Persis kayak cerita novel tentang skizofrenia dan gangguan kejiwaan lain. Kondisi Gio diperparah dengan teman-teman TPA yang usil. Gio di-bully. Persis seperti yang di sinetron. Tapi ini kehidupan nyata. Aku disana, kalau perlu aku jadi tokoh pahlawan disana. Tapi, ah... ternyata menjadi pahlawan di kehidupan nyata tidak semudah di sinetron. Gio kadang masih di-bully dan tidak punya teman karena keanehannya itu.
Kasihan. Aku jadi penasaran dengan orang tuanya. Kata orang di rumahku, ibunya itu dokter, tapi tidak praktek. Mungkin karena kondisi Gio seperti itu. Ah, jiwa 'sok' pahlawanku tiba-tiba muncul. Entah kenapa aku jadi begitu care dengan tokoh 'lemah'ku ini.
Menurutku hambatan sosialisasi Gio ini bukan karena dia menderita penyakit down syndrome, apalagi sampai autis. Gio hanya mengalami masalah kejiwaan ringan yang aku rasa penyebabnya 100% lingkungan.
Benar saja, suatu saat aku berkesempatan main ke rumahnya. Saat itu Gio mengajak anakku bermain di rumahnya. Ya, Gio suka anak kecil. Pasti karena anak kecil sama polosnya seperti dirinya, dan tak mungkin mem-bully-nya. Hei, sikap care Gio dengan anakku menjukkan Gio sama sekali bukan autis kan? Entah kenapa orang-orang mencapnya seperti itu.
Gio tinggal bersama kedua orang tua dan kakek neneknya. Looks like dream family. Ibunya cantik dan berwawasan luas. Ayahnya sepertinya wirausahawan, waktunya banyak untuk keluarga. Neneknya juga terlihat sangat care dengan Gio.
Tapi, baru beberapa menit di rumah itu, terjadilah prahara kecil. Tapi prahara ini terasa besar, karena semua tersaji di hadapanku secara dramatis.
Saat asyik bermain, tiba-tiba Gio jatuh dasn membentur tembok. Kejadian ini disaksikan nenek tercinta. Sontak nenek berteriak panik layaknya orang tua umumnya. Prahara rumah tangga seperti ini biasa saja bukan? Sayangnya kelanjutan dari cerita ini sama sekali nggak biasa buatku.
Sang ayah datang dengan tergopoh-gopoh dan,
PLAK. Sebuah pukulan mendarat di tangan Gio. Ya Allah, aku seperti dipaksa menonton sinetron yang menyayat hati. Betapa malangnya Gio. Kepalanya pasti masih sakit, masih pula ditambah dengan pukulan sang ayah.
"Ampun. Ampun. Gio nggak ngulang lagi." Ratap Gio. Aku tak berani mendekat. Mendengarnya saja sudah memilukan hati.
Maaf Pak, bukan gitu seharusnya Bapak memperlakukan anak. Ingin rasanya kuingatkan demikian. Tapi apalah aku, si tamu baru sore ini.
Ya. Untungnya aku tidak berkomentar. Karena ternyata ayah Gio begini ada sebabnya. Rentetan peristiwa Gio kejedot tembok ternyata panjang. Nenek Gio rupanya menderita jantung. Karena peristiwa kejedot tadi, si nenek langsung melemah dan pingsan. Seluruh keluarga panik dan mengerubungi si nenek. Gio tak henti-hentinya bertanya kepadaku,
"Uti kenapa?"
"Uti sakit karena aku ya?"
"Uti dimana?"
Ah, penjelasanku sudah berbusa-busa tapi Gio tidak juga berhenti mengulang pertanyaan.
"Uti dimana?"
"Uti sakit ya?"
"Uti sakit karena aku jatuh ya?"
Ya Allah aku terenyuh. Seluruh keluarga memang menganggap kumatnya jantung nenek karena melihat Gio kejedot. Tapi apa Gio harus disalahkan? Nggak. Gio nggak salah. Gio juga korban.
Gio bahkan sampai minta maaf ke neneknya karena sudah jatuh. Gio berjanji akan lebih hati-hati. Dalam hati aku berdoa. Insya Allah malaikat akan membantumu untuk memenuhi janjimu itu ya Nak.
Sungguh aku ingin menangis saat itu. Ini sinetron kehidupan yang nyata! Tanpa jam tayang dan tidak bisa diganti saluran seenaknya. Aku tidak pernah tahu kapan si tokoh lemah-dalam hal ini Gio, akan menemukan jalan keluar dari masalahnya. Ah, tapi Gio tidak terlihat bermasalah kok. Masalah itu seperti sudah biasa, dan sepertinya kejadian seperti tadi bukan masalah bagi keluarga itu.
Ya Allah, aku ingin menangis. Tapi ini tangis haru. Betapa ternyata cobaan hidupku tak ada secuil dari cobaan mereka. Betapa kejadian anak kejedot tembok adalah hal biasa buatku, namun ternyata menjadi episode penuh haru di keluarga lainnya.
Lalu, sebuah kenyataan lain membuatku semakin hanyut dalam haru. Menurut adikku yang sarjana psikologi. Kondisi Gio yang mengalami sedikit gangguan seperti itu memang harus sangat dijaga kepalanya. Benturan sedikit saja akan membuat gangguannya semakin parah. Ibaratnya, dalam otak Gio ada sambungan otak yang terputus layaknya celana robek. Benturan sedikit saja bisa memperbanyak sambungan otak yang putus. Seperti lebih mudah merobek celana yang sudah robek, dibanding celana yang belum robek sama sekali.
Ya Allah, semoga Gio sekeluarga kuat menghadapi cobaan ini. Betapa kufurnya aku mengingkari nikmat diberi anak yang sehat dan bahagia bermain dengan siapa saja. Sementara Gio, sekecil itu sudah memiliki banyak masalah-masih pula disalahkan, seperti pada insiden kejedot ini.
Ya Allah, semoga sinetron Gio ini berakhir indah. Aku rasa belum terlambat memperbaiki Gio. Namun aku bukanlah orang yang paham tentang kejiwaan. Aku hanyalah seorang ibu pembelajar yang sedang mempraktekan secuil ilmu parenting yang didapat dari berbagai buku dan forum dunia maya. Sebenarnya ingin sekali mengajak diskusi orang tua Gio tentang parenting. Tapi siapalah aku, yang baru 2.5 tahun menyandang gelar ibu. Yang bisa kulakukan saat ini hanyalah membuat tulisan seperti ini. Semoga sinetron Gio ini happy ending. Aamiin.
Berhubung acara TV bisa memilih, atau bila tidak suka bisa juga tidak nonton TV. Maka aku memilih untuk tidak mengikuti sinetron apapun. Termasuk Catatan Hati Seorang Istri yang konon ceritanya dari buku Asma Nadia yang best seller itu. Tetap aja aku malas nonton. Menurutku sinetron itu pasti lebay, dramatis, ga reaslistis.
Namun, yang terjadi padaku sore ini adalah potongan sinetron kehidupan. Sinetron yang tak mengenal jam tayang, dan tidak bisa seenaknya kita ganti saluran acaranya. Ini kisah tentang seorang anak TK yang sedari awal perkenalan menarik perhatianku.
Gio(bukan nama sebenarnya) diantar ayahnya TPA sore itu. Aku menduga Gio sudah sekolah SD. Badannya cukup tinggi bila dibanding sepupuku yang 1 SD. Tapi kondisi sosial Gio membuatku bertanya-tanya. Mungkinkah anak seperti ini bisa bersekolah normal?
Ayahnya menitipkan Gio padaku. Dipikirnya aku guru TPA. Padahal aku hanya mengantar anakku yang masih dua tahun untuk latihan TPA. Amanah ayah Gio membuatku semakin memperhatikannya.
Gio memiliki fisik lumayan. Tidak menunjukkan tanda down syndrome. Tapi ngomongnya meracau. Khayalannya berlebihan. Persis kayak cerita novel tentang skizofrenia dan gangguan kejiwaan lain. Kondisi Gio diperparah dengan teman-teman TPA yang usil. Gio di-bully. Persis seperti yang di sinetron. Tapi ini kehidupan nyata. Aku disana, kalau perlu aku jadi tokoh pahlawan disana. Tapi, ah... ternyata menjadi pahlawan di kehidupan nyata tidak semudah di sinetron. Gio kadang masih di-bully dan tidak punya teman karena keanehannya itu.
Kasihan. Aku jadi penasaran dengan orang tuanya. Kata orang di rumahku, ibunya itu dokter, tapi tidak praktek. Mungkin karena kondisi Gio seperti itu. Ah, jiwa 'sok' pahlawanku tiba-tiba muncul. Entah kenapa aku jadi begitu care dengan tokoh 'lemah'ku ini.
Menurutku hambatan sosialisasi Gio ini bukan karena dia menderita penyakit down syndrome, apalagi sampai autis. Gio hanya mengalami masalah kejiwaan ringan yang aku rasa penyebabnya 100% lingkungan.
Benar saja, suatu saat aku berkesempatan main ke rumahnya. Saat itu Gio mengajak anakku bermain di rumahnya. Ya, Gio suka anak kecil. Pasti karena anak kecil sama polosnya seperti dirinya, dan tak mungkin mem-bully-nya. Hei, sikap care Gio dengan anakku menjukkan Gio sama sekali bukan autis kan? Entah kenapa orang-orang mencapnya seperti itu.
Gio tinggal bersama kedua orang tua dan kakek neneknya. Looks like dream family. Ibunya cantik dan berwawasan luas. Ayahnya sepertinya wirausahawan, waktunya banyak untuk keluarga. Neneknya juga terlihat sangat care dengan Gio.
Tapi, baru beberapa menit di rumah itu, terjadilah prahara kecil. Tapi prahara ini terasa besar, karena semua tersaji di hadapanku secara dramatis.
Saat asyik bermain, tiba-tiba Gio jatuh dasn membentur tembok. Kejadian ini disaksikan nenek tercinta. Sontak nenek berteriak panik layaknya orang tua umumnya. Prahara rumah tangga seperti ini biasa saja bukan? Sayangnya kelanjutan dari cerita ini sama sekali nggak biasa buatku.
Sang ayah datang dengan tergopoh-gopoh dan,
PLAK. Sebuah pukulan mendarat di tangan Gio. Ya Allah, aku seperti dipaksa menonton sinetron yang menyayat hati. Betapa malangnya Gio. Kepalanya pasti masih sakit, masih pula ditambah dengan pukulan sang ayah.
"Ampun. Ampun. Gio nggak ngulang lagi." Ratap Gio. Aku tak berani mendekat. Mendengarnya saja sudah memilukan hati.
Maaf Pak, bukan gitu seharusnya Bapak memperlakukan anak. Ingin rasanya kuingatkan demikian. Tapi apalah aku, si tamu baru sore ini.
Ya. Untungnya aku tidak berkomentar. Karena ternyata ayah Gio begini ada sebabnya. Rentetan peristiwa Gio kejedot tembok ternyata panjang. Nenek Gio rupanya menderita jantung. Karena peristiwa kejedot tadi, si nenek langsung melemah dan pingsan. Seluruh keluarga panik dan mengerubungi si nenek. Gio tak henti-hentinya bertanya kepadaku,
"Uti kenapa?"
"Uti sakit karena aku ya?"
"Uti dimana?"
Ah, penjelasanku sudah berbusa-busa tapi Gio tidak juga berhenti mengulang pertanyaan.
"Uti dimana?"
"Uti sakit ya?"
"Uti sakit karena aku jatuh ya?"
Ya Allah aku terenyuh. Seluruh keluarga memang menganggap kumatnya jantung nenek karena melihat Gio kejedot. Tapi apa Gio harus disalahkan? Nggak. Gio nggak salah. Gio juga korban.
Gio bahkan sampai minta maaf ke neneknya karena sudah jatuh. Gio berjanji akan lebih hati-hati. Dalam hati aku berdoa. Insya Allah malaikat akan membantumu untuk memenuhi janjimu itu ya Nak.
Sungguh aku ingin menangis saat itu. Ini sinetron kehidupan yang nyata! Tanpa jam tayang dan tidak bisa diganti saluran seenaknya. Aku tidak pernah tahu kapan si tokoh lemah-dalam hal ini Gio, akan menemukan jalan keluar dari masalahnya. Ah, tapi Gio tidak terlihat bermasalah kok. Masalah itu seperti sudah biasa, dan sepertinya kejadian seperti tadi bukan masalah bagi keluarga itu.
Ya Allah, aku ingin menangis. Tapi ini tangis haru. Betapa ternyata cobaan hidupku tak ada secuil dari cobaan mereka. Betapa kejadian anak kejedot tembok adalah hal biasa buatku, namun ternyata menjadi episode penuh haru di keluarga lainnya.
Lalu, sebuah kenyataan lain membuatku semakin hanyut dalam haru. Menurut adikku yang sarjana psikologi. Kondisi Gio yang mengalami sedikit gangguan seperti itu memang harus sangat dijaga kepalanya. Benturan sedikit saja akan membuat gangguannya semakin parah. Ibaratnya, dalam otak Gio ada sambungan otak yang terputus layaknya celana robek. Benturan sedikit saja bisa memperbanyak sambungan otak yang putus. Seperti lebih mudah merobek celana yang sudah robek, dibanding celana yang belum robek sama sekali.
Ya Allah, semoga Gio sekeluarga kuat menghadapi cobaan ini. Betapa kufurnya aku mengingkari nikmat diberi anak yang sehat dan bahagia bermain dengan siapa saja. Sementara Gio, sekecil itu sudah memiliki banyak masalah-masih pula disalahkan, seperti pada insiden kejedot ini.
Ya Allah, semoga sinetron Gio ini berakhir indah. Aku rasa belum terlambat memperbaiki Gio. Namun aku bukanlah orang yang paham tentang kejiwaan. Aku hanyalah seorang ibu pembelajar yang sedang mempraktekan secuil ilmu parenting yang didapat dari berbagai buku dan forum dunia maya. Sebenarnya ingin sekali mengajak diskusi orang tua Gio tentang parenting. Tapi siapalah aku, yang baru 2.5 tahun menyandang gelar ibu. Yang bisa kulakukan saat ini hanyalah membuat tulisan seperti ini. Semoga sinetron Gio ini happy ending. Aamiin.
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung di lapak sederhana EDibaFREE. Komentar Anda akan sangat berarti buat kami...