Menjelang Valentine, Kompas TV mengiklankan film Love.
Sayangnya filmnya ditayangkan Jumat pagi. Akhirnya aku bongkar file hard disk
dan nonton deh tu film. Entah berapa kali udah nontonnya.
Aku suka banget film ini. Habis ada lima cerita romantis
yang disajikan di film ini. Gimana ga betah nontonnya. Apalagi alur gambarnya
oke punya. Loncat dari satu tokoh ke tokoh lain setara film hollywood macam
love actually. Beberapa orang bisa aja mencibir, ah konsepnya plagiat
Hollywood, tapi kalo aku mah ga peduli, pokoknya bagus aja menurutku.
Ada cerita pasangan suami istri yang ga harmonis sementara
anaknya autis, kisah cinta gadis berpenyakit kanker, kisah gadis desa yang ke
kota demi mencari pacar yang telah menghamilinya, kisah ibu penjual soto yang
menaruh simpati pada bapak penderita alzheimer. Dan yang terakhir adalah kisah
pengarang buku terkenal yang jatuh cinta pada penjaga toko buku.
Aku paling suka kisah gadis desa yang mencari pacarnya ke
kota. Suka lihat si Acha sama Fauzi Baadila disana. Gemes aja lihat mimik wajah
Ozi yang cool ga jelas dan Acha yang berakting sebagai gadis yang lugu tapi mandiri.
Tapi, malam ini aku seperti tertohok dengan kisah si pengarang
buku dan si penjaga toko buku. Yah, mungkin karena aku ngimpi jadi pengarang buku ya? Hehe. Tapi ada
beberapa pesan moral yang seperti menjadi jawaban kegalauanku akhir-akhir ini.*atsaa..
Jadi diceritakan kalau si pengarang buku bernama Tere Wijaya
(pasti terinspirasi Tere Liye, tapi Tere yang ini cewe bo) jatuh cinta pada
Awin, si penjaga toko buku. Awin ini suka baca dan hobi nulis juga.
Masalah justru timbul saat Tere memberikan perhatian lebih
dan membukakan jalan buat Awin menjadi penulis buku.
Ternyata Awin ga suka, dia ingin berusaha sendiri menembus
penerbitan tanpa campur tangan Tere. Padahal permasalahan sebenarnya bukan itu.
Awin sebenarnya belum siap perubahan, selain itu Awin yang terbiasa tidak
diperhatikan menjadi 'kagok' mendapatan perhatian seorang wanita.
Nah, dua moral penting dari kisah ini adalah, terkadang niat
baik belum tentu disambut baik. Seperti perhatian Tere sempat ditanggapi
negatif oleh Awin. Namun di ending, Awin akhirnya menyadari kesalahannya dan
akhirnya membuka diri untuk Tere. Intinya yah sabar aja kalo baikin orang tapi
dijutekin, kadang orang punya persepsi dan masa lalu yang berbeda-beda,
sehingga respons untuk sesuatu hal bisa berbeda.
Moral kedua ini nih yang paling ngena kehidupanku sekarang.
Bahwa hidup harus siap dengan perubahan.
Di satu dialog Awin dengan bosnya, disitu Awin bilang takut
menerima kebaikan Tere karena takut belum siap mimpinya menjadi kenyataan. Awin
berada di zona nyaman dan berharap keadaan seperti itu terus. Awin takut bila
ternyata kehidupan barunya nanti tidak cocok dan dia tidak bisa kembali ke
kehidupan yang sebelumnya.
Ah, bisa-bisanya aku geer mengira kisah ini ditujukan untuk member
hidayah padaku. Tapi itulah aku, perasa dan mellow. Gampang terhanyut dalam
sebuah kisah. Aku seperti ‘membaca’ diriku sedang dalam posisi si Awin. Aku sangat
puas dengan keadaanku. Cuma ada satu hal yang mengganjalku. Sayangnya hal itu
lumayan prinsip dan akan menggiringku pada keputusan untuk memulai kehidupan
baru di tempat baru. Tapi persis seperti yang Awin bilang, “Kalau aku ga suka
sama kehidupanku nanti, apa bisa aku balik lagi?”
Persis. Aku takut buat move on karena aku belum siap dengan
konsekuensi ‘menyesal’. Tapi plot selanjutnya dari cerita ini seperti memberiku
petunjuk. Awin akhirnya memutuskan untuk membuka diri dan berani maju. Dia
menepis ketakutannya akan perubahan. Dia belajar untuk siap dengan perubahan,
karena dia ingin maju.
Ending kisah Awin ini seperti meyakinkanku untuk membuat keputusan
terbesarku selama hidup. Yah, belum final sampai saat ini, tapi garis finishnya
mulai kelihatan, bimbinglah aku dan keluargaku Ya Allah. Insya Allah kami siap
dengan perubahan apapun yang telah Engkau gariskan. Aamiin.
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung di lapak sederhana EDibaFREE. Komentar Anda akan sangat berarti buat kami...