"Maaf. Ga bisa nyumbang. Saya NU. Itu sekolahnya Muhamadiyah kan?"
Ini pernyataan nyata dari seorang ustad terpandang di tempat kami. Saat itu kami sedang pengumpulan dana untuk bakti sosial ke sebuah sekolah di Lampung Tengah. Kebetulan sekolah yang kita tuju adalah SMP Muhamadiyah. Tapi aku miris dengan alasannya ga mau menyumbang. Masak karena dia seorang NU terus jadi alasan ga mau bantu sekolah Muhamadiyah yang muridnya belum tentu paham apa itu aliran NU, apa itu aliran Muhamadiyah.
Yah. Jangankan murid sekolah itu. Kita aja yang penyelenggara baksos aja ga ada niat apa-apa saat memilih SMP Muhamadiyah. Wong kebetulan SMP itu yang berlokasi dekat dengan rumah kami, dan kondisinya juga lumayan memprihatinkan. Prasarana sekolah minim. Niat kita murni membantu, ga ada embel-embel karena 'Muhamadiyah'.
Ini baru fenomena kecil. Fenomena gap NU dan Muhamadiyah juga umum terjadi saat bulan puasa. Seringkali mereka berbeda pendapat tentang awal puasa dan lebaran. Padahal bulan yang jadi petunjuk kan sama, tapi beda cara hitung, beda pula artinya.
Jujur aku miris. Kenapa sih umat Islam harus terkotak-kotak begitu? Baru dua aliran besar aja, kelihatan banget ga kompaknya, padahal aliran Islam itu ternyata banyak sekali lo. Kalau semua fanatik kayak ustad yang kuceritain tadi, ah entahlah, bisa senang musuh Islam mengadu domba kita. Disulut dikit langsung heboh. Yah sama aja kayak aksi anarkis FPI ataupun teroris. Aku paham kalau niat mereka bagus, tapi sikap fanatik membuat mereka lupa untuk menghargai umat lain. Padahal Islam ga senang kesewenang-wenangan dan anarkis. Maunya berdakwah, tapi orang malah ngeri, takut. Mana itu Islam yang katanya cinta damai? Kok grebek-grebek seenaknya? Kok main bom sana sini? Padahal taruhan deh, mereka ini sebenarnya cuma dimanfaatkan. Tapi sikap fanatik membuat mereka ga sadar justru sudah membuat malu Islam.
Sepakat untuk tidak sepakat. Itu sih kuncinya. Toleransi bahasa sederhananya. Ibadah memang harus bagus, prinsip beragama harus dipegang teguh. Tapi jangan terlalu dipegang erat alias fanatik, karena kita punya tanggung jawab sosial lo. Mereka yang menjalani kehidupan dengan kita itu beraneka ragam. Kalau kita fanatik dan eksklusif, orang jadi malas mendekat. Mana bisa dakwah kalo orang udah ilfil dulu, ya kan?
Aku sih mainstream aja. Aku ga peduli sama aliran apapun itu. Kadang aku merasa agak 'liberal'. Tapi sebenarnya aku ga mau melabeli diriku dengan Islam apapun. Wong Islam itu satu, ya kan? Aku ya umat Islam yang menjalankan Rukun Islam(kurang rukun yang kelima, hehe), Rukun Iman, dan berpegang teguh pada Al Quran dan Al Hadist. Selebihnya aku ingin mengikuti kata hati, yah dengan berdoa dan berharap petunjuk Allah tentu saja.
Mudah-mudahan prinsipku ga salah ya. Kayaknya klise, tapi menjalankan Islam secara 'lurus' memang ga mudah. Pasti ada aja godaan dan cobaannya. Kalo tanpa pertolongan Allah, entah apa jadinya aku.
Wallahualam.
Ini pernyataan nyata dari seorang ustad terpandang di tempat kami. Saat itu kami sedang pengumpulan dana untuk bakti sosial ke sebuah sekolah di Lampung Tengah. Kebetulan sekolah yang kita tuju adalah SMP Muhamadiyah. Tapi aku miris dengan alasannya ga mau menyumbang. Masak karena dia seorang NU terus jadi alasan ga mau bantu sekolah Muhamadiyah yang muridnya belum tentu paham apa itu aliran NU, apa itu aliran Muhamadiyah.
Yah. Jangankan murid sekolah itu. Kita aja yang penyelenggara baksos aja ga ada niat apa-apa saat memilih SMP Muhamadiyah. Wong kebetulan SMP itu yang berlokasi dekat dengan rumah kami, dan kondisinya juga lumayan memprihatinkan. Prasarana sekolah minim. Niat kita murni membantu, ga ada embel-embel karena 'Muhamadiyah'.
Ini baru fenomena kecil. Fenomena gap NU dan Muhamadiyah juga umum terjadi saat bulan puasa. Seringkali mereka berbeda pendapat tentang awal puasa dan lebaran. Padahal bulan yang jadi petunjuk kan sama, tapi beda cara hitung, beda pula artinya.
Jujur aku miris. Kenapa sih umat Islam harus terkotak-kotak begitu? Baru dua aliran besar aja, kelihatan banget ga kompaknya, padahal aliran Islam itu ternyata banyak sekali lo. Kalau semua fanatik kayak ustad yang kuceritain tadi, ah entahlah, bisa senang musuh Islam mengadu domba kita. Disulut dikit langsung heboh. Yah sama aja kayak aksi anarkis FPI ataupun teroris. Aku paham kalau niat mereka bagus, tapi sikap fanatik membuat mereka lupa untuk menghargai umat lain. Padahal Islam ga senang kesewenang-wenangan dan anarkis. Maunya berdakwah, tapi orang malah ngeri, takut. Mana itu Islam yang katanya cinta damai? Kok grebek-grebek seenaknya? Kok main bom sana sini? Padahal taruhan deh, mereka ini sebenarnya cuma dimanfaatkan. Tapi sikap fanatik membuat mereka ga sadar justru sudah membuat malu Islam.
Sepakat untuk tidak sepakat. Itu sih kuncinya. Toleransi bahasa sederhananya. Ibadah memang harus bagus, prinsip beragama harus dipegang teguh. Tapi jangan terlalu dipegang erat alias fanatik, karena kita punya tanggung jawab sosial lo. Mereka yang menjalani kehidupan dengan kita itu beraneka ragam. Kalau kita fanatik dan eksklusif, orang jadi malas mendekat. Mana bisa dakwah kalo orang udah ilfil dulu, ya kan?
Aku sih mainstream aja. Aku ga peduli sama aliran apapun itu. Kadang aku merasa agak 'liberal'. Tapi sebenarnya aku ga mau melabeli diriku dengan Islam apapun. Wong Islam itu satu, ya kan? Aku ya umat Islam yang menjalankan Rukun Islam(kurang rukun yang kelima, hehe), Rukun Iman, dan berpegang teguh pada Al Quran dan Al Hadist. Selebihnya aku ingin mengikuti kata hati, yah dengan berdoa dan berharap petunjuk Allah tentu saja.
Mudah-mudahan prinsipku ga salah ya. Kayaknya klise, tapi menjalankan Islam secara 'lurus' memang ga mudah. Pasti ada aja godaan dan cobaannya. Kalo tanpa pertolongan Allah, entah apa jadinya aku.
Wallahualam.
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung di lapak sederhana EDibaFREE. Komentar Anda akan sangat berarti buat kami...