Etika dalam berkomunikasi harus diterapkan, baik dalam berkomunikasi lisan maupun tulisan. Etika berkomunikasi dengan tulisan lebih rumit, karena intepretasi bahasa tulisan bisa beragam. Hanya dengan menambahkan tanda seru di akhir kalimat, orang sudah bisa menganggap kita menulis sambil berteriak. Beberapa hal di bawah ini adalah hal kecil yang bila tidak diperhatikan sering menimbulkan kesalah pahaman.
1. Tidak memperhatikan tanda baca
Aku minta tolong???!!
Kata-kata diatas sih biasa saja. Tapi tanda seru yang berlebihan akan membuat semua orang menyangka kita marah-marah. Walau sebenarnya kita ngetik sambil senyum.
2. Tidak memperhatikan huruf besar
AKU MINTA TOLONG
Eh, minta tolong kok teriak-teriak ya? Bisa-bisa pada males mau nolongin. Padahal, siapa tahu caps locknya kepencet ga sadar, hehe. Yah, sebelum mengirim pesan atau posting tulisan, cek ricek lagi masalah huruf besar. Penggunaan huruf besar berlebihan akan megurangi simpati orang kepada kita. Kita akan dicap sebagai orang yang emosinya labil dan gampang meledak-meledak.
3. Mencampur tulisan dan angka layaknya tulisan alay
4ko3 s4y4n6 k4mu
Walaupun bisa dibaca, tapi tetep aja bikin capek mata. Tulisan ini menunjukkan ketidak dewasaan kita dalam berkomunikasi dan terkesan main-main.
4. Asal membuat singkatan kata
Terkadang, demi menghemat space pesan kita menggunakan singkatan kata yang tidak umum, seperti contoh di bawah ini:
Ak mw plg ke plg
Hayo? Apa coba kepanjangannya? ‘Plg’ yang kedua itu artinya ‘Palembang’. Buat yang ga tahu pasti bingung kan? Bersyukur banget sekarang ada instant messaging kayak whats app dan BBM, mau ngetik lebih dari 160 karakter, ataupun copas artikel sepanjang jalan kenangan juga tetap terkirim.
5. Tidak memperhatikan bahasa tulisan
Untuk bahasa formal seperti menulis karya tulis, gunakan kata ganti saya daripada aku. Karena kata saya lebih formal dan sopan daripada kata ganti aku. Kalau esai bebas seperti nulis status dan di blog sih mau pakai aku, gue, atau beta juga ga masalah.
Pernah sebuah grup ASI di facebook yang saya ikuti geger dengan sebuah postingan seorang ibu muda yang menggunakan singkatan yang tidak umum, tulisan alay yang mengganti a menjadi 4, belum lagi tanda seru yang berderet panjang. Semua yang membaca postingan ibu ini menjadi bingung. Alih-alih mendapatkan solusi dari permasalahannya, ibu muda ini malah di-“bully” habis-habisan. Maksud para pem”bully” ini adalah ingin mengingatkan ibu muda agar memperhatikan tulisan dan tanda baca yang digunakan. Karena tulisan semacam ini tentu saja menimbulkan berbagai persepsi dari yang membacanya. Coba perhatikan kalimat berikut:
Buw, q m0 ty4, asi ‘a seret gmn ea?dh cb m4k4n mc3m,tp t32p seret beud. bingung akhuw..!!!!
Haduh, bacanya aja bikin pusing, belum lagi tanda serunya bikin hati ikutan emosi. Kalau ada yang posting kayak begini, biasanya sih langsung saya skip. Bahasa Indonesia itu bagus banget. Kenapa harus diacak-acak? Ya kan?
Kedewasaan dalam berkomunikasi tulisan lebih susah daripada berkomunikasi lisan. Dalam bahasa tulisan, kita tidak pernah tahu emosi penulis yang sesungguhnya, pun kita juga lebih susah mengekspresikan emosi lewat tulisan. Namun, komunikasi tulisan sangatlah diperlukan, terutama buat mereka yang kesulitan berkata-kata langsung, ataupun perlu informasi tertulis. Contoh nyata yang saya alami adalah berkomunikasi dengan supplier. Saat berkomunikasi via telepon, banyak informasi yang terkadang terlewat. Ketika telepon ditutup, barulah tersadar ada informasi yang belum ditanyakan. Berbeda halnya saat berkomunikasi lewat email. Apa yang ingin ditanyakan bahkan bisa disampaikan dalam bentuk tabel dan supplier tinggal menjawab pada kolom jawaban. Selain itu, jawaban yang disampaikan via tulisan lebih dapat dipertanggung jawabkan. Karena kita umumnya lebih mudah mendokumentasikan tulisan ketimbang suara. Tulisan bisa dengan mudah di print dan dibaca, sedangkan lisan harus direkam untuk mendokumentasikannya. Sebuah kisah nyata pernah dialami teman terhadap bosnya. Saat itu dia merekam instruksi bos. Lalu, saat instruksi bos berubah, langsung saja teman menunjukkan rekaman perintah bos. Kontan si bos marah besar. Belajar dari pengalaman, teman akhirnya mendokumentasikan instruksi bos dalam notulen rapat. Saat bos lupa dan ditunjukkan notulen rapat, bos kali ini tidak marah dan justru berterima kasih dengan teman tersebut. Padahal, apa bedanya kedua media dokumentasi tersebut? Terbukti kalau komunikasi tulisan lebih ’santun’ untuk mengingatkan seseorang. Menguasai kemampuan menulis membuat kita lebih dihargai dalam berbagai forum dan pergaulan.
ditulis juga di http://media.kompasiana.com/new-media/2013/12/27/etika-bekomunikasi-tulisan-623189.html
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung di lapak sederhana EDibaFREE. Komentar Anda akan sangat berarti buat kami...